Sabtu, 27 November 2010

Learning Cycle

A. Pengertian Siklus Belajar (Learning Cycle)
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). Siklus belajar adalah model pembelajaran yang fleksibel, terutama bagi seseorang yang kurang mendapat pengalaman langsung sehingga melalui siklus belajar siswa akan memperoleh pengalaman tersebut, misalnya dalam fase eksplorasi. LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988).
B. Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktifitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala-gejala alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interpretasi, dan memperbaiki gagasannya (Ramsey, 1993).
Fase-fase aktifitas siswa dalam siklus belajar adalah:
1) fase eksplorasi,
2) fase pengenalan konsep, dan
3) fase aplikasi konsep.
Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya dalam suatu situasi baru. Pada fase pengenalan istilah siswa mengenal istilah-istilah baru yang menjadi acuan bagi pola yang ditemukannya dalam eksplorasi. Pada siklus terakhir, aplikasi konsep, siswa menggunakan istilah atau pola pikirnya untuk memperkaya contoh-contoh. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala-gejala yang diobservasi diharapkan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan prior knowledge atau prakonsepsi mereka.
Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep.
Pada fase pengenalan konsep, para siswa didorong untuk mendiskusukan temuan-temuan dalam fase eksplorasi. Melalui fase ini siswa diharapkan membangun struktur mental yang baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase ini, diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari.
Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.
Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
C. Perkembangan Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1). Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2). Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.
3). Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo,2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung.
Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pembelajaran, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1). Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.
2). Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3). Pembelajaran menjadi lebih bermakna

Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio,2000):
1). Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah langkah pembelajaran
2). Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3). Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4). Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
D. Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Fase Aktivitas Belajar/Metode
 Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pelajar
 Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide ide
 Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta buktidan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari.
 Elaboration (extention) :siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru.
 Evaluation: evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut.
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan “Konsep apa yang akan diberikan ?” atau “Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?” dan “Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ?”. Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.


Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah:
1. Tersedianya pengalaman belajar yang erat kaitan dengan pengetahuan yang telah di miliki siswa.
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerjasama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo,2001)
E. Tipe-Tipe Siklus Belajar
Ada tiga tipe siklus belajar, yaitu :
1) deskritif,
2) Empiris-induktif, dan
3) Hipotesis-deduktif
(Ratna Wilis Dahar, 1989, Trowbridge & Bybee, 1990.)
Ketiga siklus tersebut menunjukan suatu kontinum dari sains deskriptif hingga sains eksperimental. Dilihat dari aspek penalaran, siklus belajar deskriptif hanya menghendaki pola-pola deskriptif seperti klasifikasi dan konservasi, sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti mengedalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotesis-deduktif.
Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermidiate, menghendaki pola-pola penalaran deskriptif tingkat tinggi. Siklus belajar empiris-induktif tidak hanya memberi kesempatan kepada siswa untuk mengobservasi satu hubungan, tetapi memformulasi suatu simpulan dan memberi argumentasi atas hubungan itu. Siklus ini juga disebut formulasi “Do Talk-Do”. Tahapan atau prosedur pembelajarannya dalam memperbaiki miskonsepsi siswa dapat digambarkan sebagai berikut:

Ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penerapan model siklus belajar untuk memperbaiki miskonsepsi siswa agar model tersebut dapat berfungsi secara efektif. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Model siklus belajar cocok diterapkan dalam memperbaiki miskonsepsi siswa untuk kosep-konsep yang bersifat observable.
2. Identifikasi miskonsepsi siswa secara cermat dan telusuri latar penyebabnya. Tentukan pola umum miskonsepsinya, mengingat bahwa miskonsepsi siswa cukup bervariasi.
3. Rancang eksperimen yang harus dilakukan siswa agar gejala-gejala yang diobservasi dalam kegiatan eksperimen dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagi siswa serta dapat menimbulkan konflik terhadap prakonsepsinya.
4. Kegiatan eksperimen harus dilakukan dalam kelompok kecil dengan anggota 3-5 orang, dan pastikan bahwa setiap individu betul-betul terlibat dalam observasi gejala fisika. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa pengetahuan dibangun dalam diri setiap individu siswa. Hindari metode demonstrasi karena masing-masing individu siswa tidak akan dapat mengobservasi gejala atau fenomena secara cermat.
5. guru harus selalu memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
6. Dalam fase pengenalan konsep dimana siswa aktif berdiskusi tentang temuan-temuan dalam fase eksplorasi, guru perlu menggunakan teknik pertanyaan menggali dan pertanyaan menuntun agar siswa dapat memodifikasi prakonsepsinya yang miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
7. siapkan situasi baru yang berupa problem-problem yang memungkinkan siswa untuk menerapkan konsepsi barunya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah sebagai hasil modifikasi atau ressrukturisasi atas prakonsepsinya yang bersifat miskonsepsi. Situasi baru yang disiakan hendaknya benar-benar dapat menjadi wahana bagi siswa untuk memperkaya dan memperkuat struktur kognitifnya.
8. Yakinkan bahwa status pengetahuan ilmiah siswa yang merupakan hasil restrukturisasi prakonsepsinya benar-benar telah berada pada status fruitful. Sebab, jika pengetahuan ilmiahnya hanya berada pada status plausible, apalagi kalau hanya berada pada status intelligible maka mereka akan mudah kembali ke pola pikir yang miskonsepsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar