TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
Karakteristik manusia masa depan adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab, terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri yang disebut dengan suatu proses (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kajayaan bangsanya (Raka joni, 1990).
Karakteristik manusia masa depan memiliki kepekaan,kepekaan berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudahan tersentuh hati nuraninya di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri di atas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman,maupun lingkungannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengontruksi pengetahuan adalah kontruksi pengetahuan seseorang telah ada, domain pengalaman dan jaringan struktur kognitif yang dimilkinya. Proses dan hasil kontruksi pengetahuan seseorang akan menjadi pembatas kontruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Pandangan kontruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Lingkungan belajar sangat munculnya berbagai pandangan dan interprestasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan serta aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Paradigma kontruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Dalam belajar kontruktivistik guru berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar guru membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Pendekatan kontrutivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Biologi is Mine
Sabtu, 27 November 2010
Learning Cycle
A. Pengertian Siklus Belajar (Learning Cycle)
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). Siklus belajar adalah model pembelajaran yang fleksibel, terutama bagi seseorang yang kurang mendapat pengalaman langsung sehingga melalui siklus belajar siswa akan memperoleh pengalaman tersebut, misalnya dalam fase eksplorasi. LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988).
B. Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktifitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala-gejala alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interpretasi, dan memperbaiki gagasannya (Ramsey, 1993).
Fase-fase aktifitas siswa dalam siklus belajar adalah:
1) fase eksplorasi,
2) fase pengenalan konsep, dan
3) fase aplikasi konsep.
Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya dalam suatu situasi baru. Pada fase pengenalan istilah siswa mengenal istilah-istilah baru yang menjadi acuan bagi pola yang ditemukannya dalam eksplorasi. Pada siklus terakhir, aplikasi konsep, siswa menggunakan istilah atau pola pikirnya untuk memperkaya contoh-contoh. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala-gejala yang diobservasi diharapkan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan prior knowledge atau prakonsepsi mereka.
Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep.
Pada fase pengenalan konsep, para siswa didorong untuk mendiskusukan temuan-temuan dalam fase eksplorasi. Melalui fase ini siswa diharapkan membangun struktur mental yang baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase ini, diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari.
Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.
Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
C. Perkembangan Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1). Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2). Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.
3). Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo,2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung.
Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pembelajaran, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1). Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.
2). Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3). Pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio,2000):
1). Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah langkah pembelajaran
2). Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3). Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4). Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
D. Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Fase Aktivitas Belajar/Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pelajar
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide ide
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta buktidan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari.
Elaboration (extention) :siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru.
Evaluation: evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut.
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan “Konsep apa yang akan diberikan ?” atau “Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?” dan “Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ?”. Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah:
1. Tersedianya pengalaman belajar yang erat kaitan dengan pengetahuan yang telah di miliki siswa.
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerjasama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo,2001)
E. Tipe-Tipe Siklus Belajar
Ada tiga tipe siklus belajar, yaitu :
1) deskritif,
2) Empiris-induktif, dan
3) Hipotesis-deduktif
(Ratna Wilis Dahar, 1989, Trowbridge & Bybee, 1990.)
Ketiga siklus tersebut menunjukan suatu kontinum dari sains deskriptif hingga sains eksperimental. Dilihat dari aspek penalaran, siklus belajar deskriptif hanya menghendaki pola-pola deskriptif seperti klasifikasi dan konservasi, sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti mengedalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotesis-deduktif.
Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermidiate, menghendaki pola-pola penalaran deskriptif tingkat tinggi. Siklus belajar empiris-induktif tidak hanya memberi kesempatan kepada siswa untuk mengobservasi satu hubungan, tetapi memformulasi suatu simpulan dan memberi argumentasi atas hubungan itu. Siklus ini juga disebut formulasi “Do Talk-Do”. Tahapan atau prosedur pembelajarannya dalam memperbaiki miskonsepsi siswa dapat digambarkan sebagai berikut:
Ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penerapan model siklus belajar untuk memperbaiki miskonsepsi siswa agar model tersebut dapat berfungsi secara efektif. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Model siklus belajar cocok diterapkan dalam memperbaiki miskonsepsi siswa untuk kosep-konsep yang bersifat observable.
2. Identifikasi miskonsepsi siswa secara cermat dan telusuri latar penyebabnya. Tentukan pola umum miskonsepsinya, mengingat bahwa miskonsepsi siswa cukup bervariasi.
3. Rancang eksperimen yang harus dilakukan siswa agar gejala-gejala yang diobservasi dalam kegiatan eksperimen dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagi siswa serta dapat menimbulkan konflik terhadap prakonsepsinya.
4. Kegiatan eksperimen harus dilakukan dalam kelompok kecil dengan anggota 3-5 orang, dan pastikan bahwa setiap individu betul-betul terlibat dalam observasi gejala fisika. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa pengetahuan dibangun dalam diri setiap individu siswa. Hindari metode demonstrasi karena masing-masing individu siswa tidak akan dapat mengobservasi gejala atau fenomena secara cermat.
5. guru harus selalu memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
6. Dalam fase pengenalan konsep dimana siswa aktif berdiskusi tentang temuan-temuan dalam fase eksplorasi, guru perlu menggunakan teknik pertanyaan menggali dan pertanyaan menuntun agar siswa dapat memodifikasi prakonsepsinya yang miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
7. siapkan situasi baru yang berupa problem-problem yang memungkinkan siswa untuk menerapkan konsepsi barunya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah sebagai hasil modifikasi atau ressrukturisasi atas prakonsepsinya yang bersifat miskonsepsi. Situasi baru yang disiakan hendaknya benar-benar dapat menjadi wahana bagi siswa untuk memperkaya dan memperkuat struktur kognitifnya.
8. Yakinkan bahwa status pengetahuan ilmiah siswa yang merupakan hasil restrukturisasi prakonsepsinya benar-benar telah berada pada status fruitful. Sebab, jika pengetahuan ilmiahnya hanya berada pada status plausible, apalagi kalau hanya berada pada status intelligible maka mereka akan mudah kembali ke pola pikir yang miskonsepsi.
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). Siklus belajar adalah model pembelajaran yang fleksibel, terutama bagi seseorang yang kurang mendapat pengalaman langsung sehingga melalui siklus belajar siswa akan memperoleh pengalaman tersebut, misalnya dalam fase eksplorasi. LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988).
B. Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktifitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala-gejala alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interpretasi, dan memperbaiki gagasannya (Ramsey, 1993).
Fase-fase aktifitas siswa dalam siklus belajar adalah:
1) fase eksplorasi,
2) fase pengenalan konsep, dan
3) fase aplikasi konsep.
Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya dalam suatu situasi baru. Pada fase pengenalan istilah siswa mengenal istilah-istilah baru yang menjadi acuan bagi pola yang ditemukannya dalam eksplorasi. Pada siklus terakhir, aplikasi konsep, siswa menggunakan istilah atau pola pikirnya untuk memperkaya contoh-contoh. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala-gejala yang diobservasi diharapkan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan prior knowledge atau prakonsepsi mereka.
Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep.
Pada fase pengenalan konsep, para siswa didorong untuk mendiskusukan temuan-temuan dalam fase eksplorasi. Melalui fase ini siswa diharapkan membangun struktur mental yang baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase ini, diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari.
Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.
Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
C. Perkembangan Fase-Fase Aktifitas Siswa dalam Siklus Belajar
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1). Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2). Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.
3). Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo,2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung.
Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pembelajaran, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1). Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.
2). Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3). Pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio,2000):
1). Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah langkah pembelajaran
2). Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3). Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4). Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
D. Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Fase Aktivitas Belajar/Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pelajar
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide ide
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta buktidan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari.
Elaboration (extention) :siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru.
Evaluation: evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut.
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan “Konsep apa yang akan diberikan ?” atau “Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?” dan “Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ?”. Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah:
1. Tersedianya pengalaman belajar yang erat kaitan dengan pengetahuan yang telah di miliki siswa.
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerjasama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo,2001)
E. Tipe-Tipe Siklus Belajar
Ada tiga tipe siklus belajar, yaitu :
1) deskritif,
2) Empiris-induktif, dan
3) Hipotesis-deduktif
(Ratna Wilis Dahar, 1989, Trowbridge & Bybee, 1990.)
Ketiga siklus tersebut menunjukan suatu kontinum dari sains deskriptif hingga sains eksperimental. Dilihat dari aspek penalaran, siklus belajar deskriptif hanya menghendaki pola-pola deskriptif seperti klasifikasi dan konservasi, sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti mengedalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotesis-deduktif.
Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermidiate, menghendaki pola-pola penalaran deskriptif tingkat tinggi. Siklus belajar empiris-induktif tidak hanya memberi kesempatan kepada siswa untuk mengobservasi satu hubungan, tetapi memformulasi suatu simpulan dan memberi argumentasi atas hubungan itu. Siklus ini juga disebut formulasi “Do Talk-Do”. Tahapan atau prosedur pembelajarannya dalam memperbaiki miskonsepsi siswa dapat digambarkan sebagai berikut:
Ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penerapan model siklus belajar untuk memperbaiki miskonsepsi siswa agar model tersebut dapat berfungsi secara efektif. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Model siklus belajar cocok diterapkan dalam memperbaiki miskonsepsi siswa untuk kosep-konsep yang bersifat observable.
2. Identifikasi miskonsepsi siswa secara cermat dan telusuri latar penyebabnya. Tentukan pola umum miskonsepsinya, mengingat bahwa miskonsepsi siswa cukup bervariasi.
3. Rancang eksperimen yang harus dilakukan siswa agar gejala-gejala yang diobservasi dalam kegiatan eksperimen dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagi siswa serta dapat menimbulkan konflik terhadap prakonsepsinya.
4. Kegiatan eksperimen harus dilakukan dalam kelompok kecil dengan anggota 3-5 orang, dan pastikan bahwa setiap individu betul-betul terlibat dalam observasi gejala fisika. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa pengetahuan dibangun dalam diri setiap individu siswa. Hindari metode demonstrasi karena masing-masing individu siswa tidak akan dapat mengobservasi gejala atau fenomena secara cermat.
5. guru harus selalu memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
6. Dalam fase pengenalan konsep dimana siswa aktif berdiskusi tentang temuan-temuan dalam fase eksplorasi, guru perlu menggunakan teknik pertanyaan menggali dan pertanyaan menuntun agar siswa dapat memodifikasi prakonsepsinya yang miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
7. siapkan situasi baru yang berupa problem-problem yang memungkinkan siswa untuk menerapkan konsepsi barunya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah sebagai hasil modifikasi atau ressrukturisasi atas prakonsepsinya yang bersifat miskonsepsi. Situasi baru yang disiakan hendaknya benar-benar dapat menjadi wahana bagi siswa untuk memperkaya dan memperkuat struktur kognitifnya.
8. Yakinkan bahwa status pengetahuan ilmiah siswa yang merupakan hasil restrukturisasi prakonsepsinya benar-benar telah berada pada status fruitful. Sebab, jika pengetahuan ilmiahnya hanya berada pada status plausible, apalagi kalau hanya berada pada status intelligible maka mereka akan mudah kembali ke pola pikir yang miskonsepsi.
Discovery Learning
DISCOVERY LEARNING
Discovery Learning (pembelajaran dengan penemuan) merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan. Menurut Sund, discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20). Sedangkan menurut Bruner, penemuan adalah suatu proses, suatu jalan atau cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan (Markaban, 2006:9). Ide pembelajaran penemuan (Discovery Learning) muncul dari keinginan untuk memberi rasa senang kepada anak dalam menemukan sesuatu oleh mereka sendiri dengan mengikuti jejak para ilmuwan (Nur, 2000). Pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berfikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi (Slavin, 1994).
Pembelajaran penemuan dibedakan menjadi dua, yaitu pembelajaran penemuan bebas (Free Discovery Learning) atau sering disebut open ended discovery dan pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) (UT,1997). Dalam pelaksanaannya, pembelajaran penernuan terbimbing (Guided Discovery Learning) lebih banyak diterapkan, karena dengan petunjuk guru siswa akan bekerja lebih terarah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun bimbingan guru bukanlah semacam resep yang harus dikuti tetapi hanya merupakan arahan tentang prosedur kerja yang diperlukan.
Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru (PPPG, 2004:4). Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru. Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang dimana siswa berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Menurut Markaban (2006:11-15) Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya.
Menurut Markaban (2006:16) agar pelaksanaan model pembelajaran penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu,konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk menyakinkan prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.
f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari hendaknya guru menyediakn soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah penemuan itu benar.
Kelebihan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inguiry (mencari-temukan).
c. Mendukung kemampuan problem solving siswa.
d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa antar guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar.
e. Lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.
Kekurangan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
a. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Dilapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah dimengerti dengan model ceramah.
c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini.
Berikut beberapa saran berdasarkan pada pendekatan penemuan dalam pengajaran (Nur, 2000):
1. Mendorong siswa mengajukan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan membimbing;
2. Menggunakan bahan dan permainan yang bervariasi;
3. Menggunakan sejumlah contoh yang kontras atau memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan materi ajar mengenai topik topik terkait;
4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mernuaskan keingintahuan mereka, meskipun mereka mengajukan gagasan gagasan yang tidak berhubungan langsung dengan pengajaran;
5. Menggunakan sejumlah contoh yang kontras atau memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan materi ajar mengenai topik topik terkait
Discovery Learning (pembelajaran dengan penemuan) merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan. Menurut Sund, discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20). Sedangkan menurut Bruner, penemuan adalah suatu proses, suatu jalan atau cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan (Markaban, 2006:9). Ide pembelajaran penemuan (Discovery Learning) muncul dari keinginan untuk memberi rasa senang kepada anak dalam menemukan sesuatu oleh mereka sendiri dengan mengikuti jejak para ilmuwan (Nur, 2000). Pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berfikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi (Slavin, 1994).
Pembelajaran penemuan dibedakan menjadi dua, yaitu pembelajaran penemuan bebas (Free Discovery Learning) atau sering disebut open ended discovery dan pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) (UT,1997). Dalam pelaksanaannya, pembelajaran penernuan terbimbing (Guided Discovery Learning) lebih banyak diterapkan, karena dengan petunjuk guru siswa akan bekerja lebih terarah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun bimbingan guru bukanlah semacam resep yang harus dikuti tetapi hanya merupakan arahan tentang prosedur kerja yang diperlukan.
Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru (PPPG, 2004:4). Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru. Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang dimana siswa berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Menurut Markaban (2006:11-15) Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya.
Menurut Markaban (2006:16) agar pelaksanaan model pembelajaran penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu,konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk menyakinkan prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.
f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari hendaknya guru menyediakn soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah penemuan itu benar.
Kelebihan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inguiry (mencari-temukan).
c. Mendukung kemampuan problem solving siswa.
d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa antar guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar.
e. Lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.
Kekurangan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
a. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Dilapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah dimengerti dengan model ceramah.
c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini.
Berikut beberapa saran berdasarkan pada pendekatan penemuan dalam pengajaran (Nur, 2000):
1. Mendorong siswa mengajukan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan membimbing;
2. Menggunakan bahan dan permainan yang bervariasi;
3. Menggunakan sejumlah contoh yang kontras atau memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan materi ajar mengenai topik topik terkait;
4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mernuaskan keingintahuan mereka, meskipun mereka mengajukan gagasan gagasan yang tidak berhubungan langsung dengan pengajaran;
5. Menggunakan sejumlah contoh yang kontras atau memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan materi ajar mengenai topik topik terkait
Asam Asetat
ASAM ASETAT
1. Pengertian/ konsep asam asetat
Asam asetat atau asam cuka adalah senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat, yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2, dan rumus molekul CH3COOH. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.
Asam asetat termasuk ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekuh CH3COOH, berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas cuka, titik leburnya 16,7 oC, dan titik didihnya 118,5 oC. Senyawa murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi etanol atau dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat larut pada suhu 200 oC. Asam asetat digunakan dalam pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk polivinil asetat). Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol, dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau air kelapa. Beberapa jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna (Daintith, 2005).
2. Penamaan
Asam asetat merupakan nama trivial dari senyawa ini, dan merupakan nama yang paling dianjurkan adalah penamaan IUPAC. Nama ini berasal dari kata latin acetum, yang berarti cuka. Nama sistematis dari senyawa ini adalah asam etanoat. Asam asetat glasial merupakan nama trivial yang merujuk pada asam asetat yang tidak bercampur air. Disebut demikian karena asam asetat bebas air membentuk kristal mirip es pada 16.7 °C, sedikit di bawah suhu ruang. Singkatan yang paling sering digunakan, dan merupakat singkatan resmi bagi asam asetat adalah AcOH atau HOAc dimana Ac berarti gugus asetil, CH3−C(=O)−. Pada konteks asam-basa, asam asetat juga sering disingkat HAc, meskipun banyak yang menganggap singkatan ini tidak benar. Ac juga tidak boleh disalahartikan dengan lambang unsur Aktinium (Ac).
3. Produksi
Asam asetat diproduksi secara sintetis maupun secara alami melalui fermentasi bakteri. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi melalui karbonilasi metanol. Sisanya dihasilkan melalui metode-metode alternatif.
4. Sifat fisik dan kimia asam asetat
Sifat Fisik Asam Asetat
Rumus molekul O
CH3 – C – OH
Berat molekul 60,053 gr/gmol
Titik leleh pada 1 atm 16,6 C
Titik didih pada 1 atm 117,9 C
Specific Gravity 1,051 gr/cm3
Koefisien ekspansi ( 20 C ) 1,07 x 10-3
Temperatur kritis ( cair ) 594,45 K
Tekanan kritis ( cair ) 57,1 atm
Volume kritis ( cair ) 2,85 cc/ gr
Surface Tension (20C, udara = 27,6 dyne/cm); (75C, udara = 22,2 dyne/cm)
Viskositas (20C, udara = 1,22 cp); (110C = 0,42 cp)
Specific Heat 0,487 kal/grC
Panas pelarutan dalam air ( 18 C ) 6,3 kal/gr
Hf ( 25 C ) -1.927,1 kal/gr
Gf ( 25 C ) -1.549,9 kal/gr
5. Sifat-sifat Kimia Asam Asetat
Reaksi dengan alkohol menghasilkan ester
CH3OH + CH3COOH CH3COOCH3 + H2O
Pembentukan garam keasaman
2CH3COOH + Zn (CH3COO)2Zn2+ + ½ H2
Reaksi konversi menjadi ester
CH3COOH – – CH2OH CH3COOCH2 -
Benzyl alcohol Benzyl asetat
Konversi ke klorida-klorida asam 50 C
3CH3COOH + PCl3 3CH3COCl + H3PO3
Substitusi dari alkyl/aryl group
Cl2P Cl2P Cl2P
CH3COOH ClCH2OH Cl2CHCOOH Cl3CCOOH
Chloroacetic Dichloroacetic Trichloroacetic
Pembentukan ester
CH3COOH + CH3CH2OH CH3COOC2H5 + H2O
6. Sumber dan manfaat asam asetat
Sumber asam asetat
Manfaat asam asetat
Asam asetat memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia,tidak hanya itu asam asetat juga berperan dalam perindustrian dan kesehatan.
1. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan
2. Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).
3. Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.
.
1. Pengertian/ konsep asam asetat
Asam asetat atau asam cuka adalah senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat, yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2, dan rumus molekul CH3COOH. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.
Asam asetat termasuk ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekuh CH3COOH, berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas cuka, titik leburnya 16,7 oC, dan titik didihnya 118,5 oC. Senyawa murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi etanol atau dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat larut pada suhu 200 oC. Asam asetat digunakan dalam pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk polivinil asetat). Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol, dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau air kelapa. Beberapa jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna (Daintith, 2005).
2. Penamaan
Asam asetat merupakan nama trivial dari senyawa ini, dan merupakan nama yang paling dianjurkan adalah penamaan IUPAC. Nama ini berasal dari kata latin acetum, yang berarti cuka. Nama sistematis dari senyawa ini adalah asam etanoat. Asam asetat glasial merupakan nama trivial yang merujuk pada asam asetat yang tidak bercampur air. Disebut demikian karena asam asetat bebas air membentuk kristal mirip es pada 16.7 °C, sedikit di bawah suhu ruang. Singkatan yang paling sering digunakan, dan merupakat singkatan resmi bagi asam asetat adalah AcOH atau HOAc dimana Ac berarti gugus asetil, CH3−C(=O)−. Pada konteks asam-basa, asam asetat juga sering disingkat HAc, meskipun banyak yang menganggap singkatan ini tidak benar. Ac juga tidak boleh disalahartikan dengan lambang unsur Aktinium (Ac).
3. Produksi
Asam asetat diproduksi secara sintetis maupun secara alami melalui fermentasi bakteri. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi melalui karbonilasi metanol. Sisanya dihasilkan melalui metode-metode alternatif.
4. Sifat fisik dan kimia asam asetat
Sifat Fisik Asam Asetat
Rumus molekul O
CH3 – C – OH
Berat molekul 60,053 gr/gmol
Titik leleh pada 1 atm 16,6 C
Titik didih pada 1 atm 117,9 C
Specific Gravity 1,051 gr/cm3
Koefisien ekspansi ( 20 C ) 1,07 x 10-3
Temperatur kritis ( cair ) 594,45 K
Tekanan kritis ( cair ) 57,1 atm
Volume kritis ( cair ) 2,85 cc/ gr
Surface Tension (20C, udara = 27,6 dyne/cm); (75C, udara = 22,2 dyne/cm)
Viskositas (20C, udara = 1,22 cp); (110C = 0,42 cp)
Specific Heat 0,487 kal/grC
Panas pelarutan dalam air ( 18 C ) 6,3 kal/gr
Hf ( 25 C ) -1.927,1 kal/gr
Gf ( 25 C ) -1.549,9 kal/gr
5. Sifat-sifat Kimia Asam Asetat
Reaksi dengan alkohol menghasilkan ester
CH3OH + CH3COOH CH3COOCH3 + H2O
Pembentukan garam keasaman
2CH3COOH + Zn (CH3COO)2Zn2+ + ½ H2
Reaksi konversi menjadi ester
CH3COOH – – CH2OH CH3COOCH2 -
Benzyl alcohol Benzyl asetat
Konversi ke klorida-klorida asam 50 C
3CH3COOH + PCl3 3CH3COCl + H3PO3
Substitusi dari alkyl/aryl group
Cl2P Cl2P Cl2P
CH3COOH ClCH2OH Cl2CHCOOH Cl3CCOOH
Chloroacetic Dichloroacetic Trichloroacetic
Pembentukan ester
CH3COOH + CH3CH2OH CH3COOC2H5 + H2O
6. Sumber dan manfaat asam asetat
Sumber asam asetat
Manfaat asam asetat
Asam asetat memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia,tidak hanya itu asam asetat juga berperan dalam perindustrian dan kesehatan.
1. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan
2. Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).
3. Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.
.
Teori Belajar Kognitif
TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN PENERAPANNYA
DALAM PEMBELAJARAN
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian – bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan , retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaanlainnya.
1. Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf, 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya, 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap – tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Tahap sensorimotor( umur 0-2tahun ), Tahap preoperasional ( 2-7/8tahun ), Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12tahun), Tahap operasional formal ( umur 11/12-18tahun).
2. Tori belajar menurut Bruner
Menurut Bruner dalam memendang proses belajar menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang di sebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,teori,aturan,atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
3. Teori Belajar bermakna Ausubel
Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetaahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dikatakan bahwa pengetahuan di organisasi dalam ingatan seseorang dalam struktur hirarkhis. Advance organizers yang juga dikembangkan oleh ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran.
Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar dalam teori kognitif di jelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal Kegitan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak di gunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Langganan:
Postingan (Atom)